
Tapi, tiba-tiba terbesit pikiran yang bisa dibilang ngaco. “Kim, kalo pas lagi duduk gini, terus ngeliat motor tabrakan. Bres! kayaknya asik yah. Terus, habis itu, kita cuma ngeliatin doank. Nggak mbantuin sama sekali,” itu yang terbersit di otakku.
Keji. Tega. Sadis. Ah, nggak juga kok. Buktinya beberapa teman malah tertawa aku bilang kayak gitu. Mereka malah melanjutkan imajinasiku yang sekonyong-konyong muncul pas liat pertigaan yang ramai itu.
Hm, kalo mau mengakui, itulah sebenernya kita. Penyuka kekerasan. Bahkan bisa jug adibilang penggila kekerasan.
Ini jelas bukan mengada-ngada. Banyak dari kita pasti hobi nonton OVJ. Lawakan paling “in” belakangan ini. Tapi, ada satu hal yang kurang kita insafi, kalo OVJ itu hobi mencintai kekerasan kita tersalur. LIat aja gaya kita pas lagi liat adegan menjatuhkan bintang tamu di atas perlengkapan sterofoam. Pemain terjungkal, penonton terbahak-bahak.
Nah, kalo ada demo yang dilabeli “demo anarkis” itu bentuk hasrat cinta kita atas kekerasan yang sifatnya nggak lucu.
Aku jadi inget, kalo temenku hobi ngebayangin seseorang dapat celaka dengan luka berdarah-darah. Jatuh dari lantai atas. Terjungkal dari bangku taman. Tertabrak bus. Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Aku melihat jalan itu lagi. Aku melihat sebuah mobil ditabrak motor yang melaju cepat dari arah utara. Mungkin habis main dari Baturaden. Brak! Si pembonceng terpental ke depan. Menghantam aspal dengan keras. Tubuhnya yang dibalut hotpant dan kaos ketat nggak keliatan seksi lagi.
Sementara, Si pengendara motor nggak lagi necis. Mukanya menghantap cap mobil dengan keras.
Sementara itu, Si pemilik mobil membuka puntu mobilnya. Celingukan nggak tentu arah.
Nggak ada helm yang terlempar malam itu. Nggak juga ada kata “tolong!!!!”
23-05-2010