Hari ini, ada yang nanya. Adik angkatanku di kampus itu, bertanya tentang cara menulis sastra. Dia hendak menulis karya ilmiahnya yang biasa kita kenal dengan kata ‘skripsi’.
“Gimana apanya?” akhirnya kata itu yang meluncur dari mulutku.
“Aduh mas, dibilang aku juga nggak mudeng. Keinginan mereka tuh memang begitu. Skripsi tuh jadi nggak kaku atau terlalu ‘ilmiah’,” jawab dia.
Temanku yang satu ini memang sudah pendadaran. Lulus memang. Tapi, satu-satunya pekerjaan rumah yang diberikan dosen pengujunya adalah mengubah bahasa yang dibangunnya dalam skripsinya itu. Sebuah PR yang mungkin lebih susah dibanding pendadaran itu sendiri.
Haduh, aku sebenarnya senang dengan niatan dosen itu. Mengubah skripsi yang singguh sialan itu menjadi sesuatu yang bisa dinikmati. Senikmat membaca novel Pramudya Ananta Toer, Dwe Lestari, atau malah Raditya “Si Kambing”.
Tapi, aku malah jadi bingung, apa itu bahasa yang “nyastra”. Apakah sesuatu yang lebay alias berlebihan khas lagu cinta di negeri ini. Atau cuma bahasa yang biasa saja, seperti bahasa yang aku dan kamu pakai.
Lalu, jika boleh aku bertanya, apa itu bahasa “nyastra”? Owalah dalah….
[15/12/2010]
wah sama sahabat saya pun kurang paham dalam bidang ini …
apa ya?
hilmy >>
apa coba? aku sih bener-bener nggak paham koh. kapan kita ngobrol2 nih? hehehe
BRI >>
biar paham gimana caranya yah?
aQ apa lagi… hehehe…
hahahahahay…
jangan merendah gitu lah.