Sejak berijag-ijug bersama Kereta Api Purwojaya dari Stasiun Purwokerto menuju Stasiun Gambir, hati ini sudah mantap untuk menuliskan cerita perjalanan ke Dumai. Memang ini perjalanan bisnis, tapi pengalamannya sangat personal. Personal banget.
Kenapa? Ya karena ini serba pertama kali sih. Satu, pergi ke Dumai menjadi perjalanan ke luar Jawa untuk yang pertama kali. Biasanya cuma main ke kota-kota kecil di Jawa. Malah kayaknya di Jawa Tengah. Lah ini melancong ke Dumai, kota yang nggak pernah dikenal.
Dua, perjalanan ke Dumai ini terasa spesial karena jadi pengalaman perdana naik pesawat. Karena nggak pernah main jauh, jadi nggak pernah naik pesawat kan. Tapi, ya alhamdulillah sekali ya, bisa naik pesawat. Heuheuhue.
Dari Terminal 3 Bandara Soetta, aku dan Mas Wasis Wardhana terbang ke Bandara Sultan Syarif Kasiem II di Pekanbaru dengan menggunakan Garuda Indonesia, Kelas Ekonomi saja lah. Habis itu, lanjut lagi naik Wings Air ke Dumai. Jadi puas banget naik pesawatnya.
Eh, sudah tahu Kota Dumai belum?
Dumai loh yah, bukan Dubai apalagi Dunia Maya. Kalau belum tahu, ya sebelas dua belas lah sama aku. Aku cuma menang pernah main ke sana. Hehehe.
Jadi, Dumai itu salah satu kota yang ada di Provinsi Riau. Lokasinya, sekitar 188 Kilometer dari Kota Pekanbaru. Setara enam jam perjalanan naik kendaraan, dengan kondisi jalan yang rusak . Atau kalau naik Wings Air, tak sampai satu jam penerbangan.
Kota Dumai itu dekat dengan Malaysia, kalau dilihat dari peta. Kata Wikipedia sih, Kota Dumai itu hasil pemekaran Kabupaten Bengkalis di tahun 1999. Di Bumi Lancang Kuning ini, orang-orang berbicara logat dan bahasa melayu.
Kota Dumai, kota dengan jalan lebar, ruko berjejer dan kebersamaan.
Oh ini, Kota Dumai. Itu kata yang terbesit dalam hati saat menginjakan kaki di Bumi Lancang Kuning. Pesawat Wings Air mendarat sekitar pukul 14.00 lebih. Baling-baling pesawat masih berputar saat aku berjalan masuk ke bandara yang bertuliskan “Dumai”.
Bandaranya, kecil. Jauh lebih besar Terminal Bus Purwokerto. Padahal, ramai juga ini bandaranya. Ceritanya, dulu bandara ini dikelola Pertamina, namun berpindah pengelolaan ke pemerintah kota setempat. Tetapi, karena pengelolaannya nggak maksimal, jadi diserahkan lagi deh ke Pertamina.
Tetapi setelah aku menuju kawasan Jenderal Soedirman yang tak lain dan tidak bukan adalah pusat kota, aku melihat kawasan kota dengan jalan yang lebar-lebar. Jauh lebih lebar dibandingkan jalan protokol di Purbalingga. Saking lebarnya, parkir di hampir tengah jalan pun nggak ada soal.
Ruko-ruko juga berdiri berjejer di jalan protokol. Hotel juga banyak loh di sini. Perumahan Pertamina juga luas banget. Kalau supermarket ya ada Ramayana. Taman Kota Bukit Gelanggang juga jadi destinasi yang hits untuk nongkrong dan selfie, sebab ada background selfie yang Dumai banget.
Ngomong-ngomong soal nongkrong, di sepanjang jalan protokol atau pusat keramaian pasti ada kursi dan meja plastik yang disediakan oleh para pedagang. Meskipun pedagang itu jualan di ruko atau sekadar jualan pop ice, tetap saja ada kursi dan meja yang bisa dipakai untuk nongkrong.
Katanya sih, pemandangan ini adalah buah dari budaya masyarakat setempat yang memang suka nongkrong santai. Kekayaan alam yang sangat melimpah di Sumatra, membuat warganya begitu mudah memenuhi kebutuhannya. Jadi, mungkin itu yang membuat nongkrong itu membudaya.
Menikmati kuliner serba rempah dan penuh aroma citarasa budaya di tepi jalan.
Karena sudah menyinggung soal nongkrong, dan pasti nyerempet-nyerempet ke kuliner, jadi sekalian saja ya dibahas soal kuliner yang berhasil aku cicipi. Meskipun nggak banyak yang bisa dicicipi, tapi momen tiga hari di Dumai lumayan lah untuk kulineran.
Yep. Berkat banyak ulasan kuliner di blog orang lain, kuliner sudah masuk list utama untuk saat traveling. Alhasil, ya setelah jam kerja selesai, langsung berburu kuliner di luar hotel Grand Zuri Hotel, tempat aku menginap. Kulineran di kios pinggir jalan.
Sebagai milenial yang hapean bae, sesudah seacrhing di Google Assistant & Google Maps, aku dan Mas Wasis langsung ke Rumah Makan Padang Pak Datuk. Kami hanya perlu duduk di kursi yang mejanya besar, setelah itu, lauk datang memenuhi meja. Yang dimakan, yang dibayar. Wareg, gaes.
Di Dumai, aku menyicipi mi goreng aceh, nasi goreng rempah, nasi rempah bakar ala angkringan. Semua makanan berat itu penuh dengan sensasi rempah. Bahkan, terasa kalau pedasnya di nasi goreng, itu ya karena lada.
Ada yang menarik saat aku mau makan nasi goreng. Ceritanya, aku pesan nasi goreng. Terus ngomong “Bang, nasi gorengnya jangan pedas ya,”. Ternyata eh ternyata, di Dumai itu, nasi goreng sudah dimasak terlebih dahulu. Di simpan di bakul nasi yang besar.
Jadi nasi gorengnya tinggal diambil dan disajikan dengan telor mata sapi. Cepat. Dari situ, aku ya kelihatan bukan orang asli Dumai dan Sumatra. Heuhuheu.
Eh, hampir lupa! Ada satu menu kulineran lagi yang bikin work sekaligus traveling ke Dumai jadi semakin asyik. Teh Telor! Yep. Itu Teh yang dicampur, susu, telor ayam dan bumbu lainnya yang aku nggak tahu apa.
Teh Telor mantap rasanya. Nggak ada rasa amis telor. Aku minum dua kali di dua kedai yang berbeda. Konon nih, nggak semua orang bisa ahli bikin teh telor tanpa rasa amis. Wuenak tenan kiye lah Teh Telor!
Sepenggal kisah warga yang tak mau pulang kampung, meski diberi tanah 10 hektare.
Nah, kalau ini cerita yang aku dapatkan saat naik Go-Car dari RRI Pekanbaru ke Bandara Sultan Syarief Kasiem II. Saat itu siang hari. Panas banget. Kami lagi jalan kaki dari Perpustakaan Daerag Provinsi Riau menuju masjid yang dapat gelar Taj Mahal-nya Indonesia.
Tapi eh tapi, karena jauh perjalanan ditempuh dengan jalan kaki dari Perpustakaan Daerah Provinsi Riau yang punya desain interior dan eksterior unik buanget, akhirnya kami balik kanan menuju bandara. Traveling ke spot selfie andalan di Pekanbaru gagal, tetapi sebagai gantinya, aku mendapatkan cerita yang unik sekali.
Yang cerita itu supir Go-Car. Dia sudah dari SMP merantau ke Pekanbaru. Sekarang sudah punya anak. Dan, dia mengaku tidak ingin menetap kali di kampung halamannya. Kenapa? Karena itu sama saja meninggalkan kehidupan kota dan kembali ke hutan.
Ternyata, jalan ke kampungnya yang ada di antara hutan itu tidak ada jalan. Bahkan, untuk lewat sepeda motor saja, sangat susah dilewati. Kalaupun harus jalan kaki, maka dibutuhkan waktu 12 jam perjalanan jalan kaki. Nggak bisa terbayangkan capeknya.
Padahal ya, segala kebutuhan di kampung si driver ini segala-gala ada. Kelapa tinggal panjat. Buah tinggal petik. Ikan tinggal pancing, tapi jangan pakai pancing biasa ya, nggak bakal kuat. Harus memancing pakai bambu. “Ikannya sebesar lengan,” kata di driver.
Malah, kalau di driver mau hidup di kampung, orang tuanya bisa menyediakan rumah dan tanah seluas 10 Ha dengan status diberikan kepada si anak. “Kalau nggak ingin beli KFC aja, hidup di kampung apa-apa ada,” kata si driver.
Cerita ini mustahil kalau di Jawa. Tanah serba terbatas. Harga tanah juga mahal. Semua barang dan hasil bumi sudah jadi komoditas yang harus dibayar. Tapi, dengan melihat kemudahan akses ini, rasanya jadi bersyukur sekali dengan kehidupan ini.
Tak lupa untuk berburu aroma kopi di Tanah Melayu bersama Kedai Kopi Kim Teng.
Kopi adalah salah satu target yang memang sudah masuk list, bahkan sedari sebelum pasti berangkat ke Dumai. Tetapi, setelah sampai di Pekanbaru dan mengingat waktu transit yang terbatas, makanya cuma cari kopi berdasarkan popularitasnya saja.
Ketemu. Namanya, Kedai Kopi Kim Teng. Kedai ini terkenal banget, ternyata. Aku sih dapat infonya ya dari Google Assistent saat tanya, cafe di Pekanbaru. Pas ditanyakan ke sopir taksi, Kedai Kopi Kim Teng ya memang sangat terkenal di Pekanbaru.
Kedai Kopi Kim Teng nggak serupa kafe kekinian yang banyak bermunculan di Indonesia. Tapi benar-benar kedai biasa. Mungkin kalau di Jawa, kedai itu selevel warung. Menu utama di Kedai Kim Teng itu kopi dan roti. Tapi seiring perkembangannya, banyak juga menu makan berat di sini.
Kedai Kopi Kim Teng menyediakan kopi hitam dan kopi susu. Sama sekali nggak ada pembahasan soal Arabika atau Robusta, kopi lokal atau kopi internasional, grinder medium atau lembut, drip atau esspreso. Sama sekali nggak ada hal macam begitu. Cuma ada kopi hitam dan kopi susu. Sudah.
Dan, yang paling menjual dari Kedai Kopi Kim Teng yang sudah tiga generasi ini ya suasananya. Waktu datang jam 9 pagian, suasananya berisik banget. Semua orang di meja ngobrol. Semua meja penuh orang. Ada yang makan, ada yang ngopi.
Padahal itu kan ya jam kerja. Nggak tahu juga cara mereka mengatur jam nongkrongnya. Mungkin di Pekanbaru ada sesi brunch yah kaya di luar negeri sana. Hehehe.
Tapi, beneran loh, suasana di Kedai Kopi Kim Teng ini menyenangkan. Aku ya betah di sana, meski cuma nyeruput kopi hitam dan roti tawar dengan selai srikaya. Jujurnya, kopinya sih biasa saja, tapi suasananya yang nggak terlupakan.
Wah, sebenarnya, banyak banget yang pengin diceritakan dari perjalanan tiga hari dua malam di Dumai nih. Selama perjalanan saja sudah banyak yang bisa aku ceritakan, apalagi kalau diminta mendeskripsikan pengalaman di Dumai.
Traveling ataupun perjalanan ke sebuah destinasi memang memberikan pengalaman yang luar biasa yah. Nggak cuma bisa jadi lebih fresh pikiran dan hatinya. Tetapi juga bikin wawasan lebih terbuka.
Dalam hal ini jadi mikir; INDONESIA MEMANG LUAS BANGET, BERAGAM BANGET, INDAH BANGET!
Jadi, sementara segini dulu yah ceritanya. Mbok terlalu panjang. Nanti capek buat scrolling. Ini saja juga sudah panjang banget yah. Maafkan.
Jangan lupa untuk berbagi dan komentar di kolom yang tersedia yah. Kalau mau menambahkan cerita, juga silahkan di kolom komentar yah. Hehehe.
Trus oleh2 nya mana…selain cerita yaaa….
Lebih asyik ceritanya, dibanding oleh-olehnya 🙂
Dumai, Riau. Salah satu tempat yang ingin aku pijak. Makane aku iri sama kamu, iya aku iri, kamu harus tanggungjawab kasih free pass ke sana, wkwkwkw.
Aku sudah mengenal Dumai sejak puluhan tahun lalu ketika kau mengenal internet, bukan maksud Dumai itu Dunia Maya, melainkan aku punya teman chat dari Dumai, Riau. Dan sampai sekarang pun masih berkomunikasi. Bahkan dia pun ada di Pertamina Dumai. Makane kemarin aku pengen chat ke dirimu, ketemu sama ‘A/B’ apa enggak di situ. Tapi ya wislah… ora sempet juga.
Makanan dan rempah-rempah memang menjadi ciri khas di sina… tapi yang bikin aku penasaran banget itu Danau Zamrudnya yang katanya unik dan wow banget.
Hahaha. Kadang dunia memang terasa nggak adil.