Setelah sekian lama, kembali lagi ke Rajawali Theater Purwokerto. Sepertinya sudah beberapa tahun. Lama sekali. Lama tak menduduki kursi empuk bioskop yang terkenal dengan karcis parkirnya yang kuning itu.
Bukan film horor, bukan pula film laga yang membuat aku bisa main lagi ke Rajawali Theater ini. Tetapi undangan untuk nonton Pemutaran Perdana “Mencari Sutedja”. Ini film dokumenter.
Film dokumenter ini disutradarai oleh Bowo Leksono. Direktur Cinema Lover Community (CLC) Purbalingga. Selain lewat karya filmnya, doi juga banyak dikenal di Facebook karena statusnya. Heuheu.
Pemutarannya sih sudah dilaksanakan, 15 November 2018 kemarin. Aku datang sendiri ke pemutaran perdana “Mencari Sutedja”. Pokmen kayak pendekar.
Banyak yang datang di acara pemutaran film “Mencari Sutedja” yang berdurasi sekitar 30 menit ini. Aku sih nggak kenal semuanya, tapi dari pengamatan ala ala wartawan, kebanyakan orang yang datang dari Purwokerto, meski dari Purbalingga juga ada.
Ada yang muda, ada yang tua. Ada orang dinas, ada seniman. Ada perwakilan keluarga besar Sutedja. Ada banyak lagi orang yang nggak aku kenal. Banyak lah, wong Studio 3 hampir penuh kok.
Siapa sih Sutedja?
Oke. Sudah cukup pengantarnya. Mari kita beralih untuk bicara soal film fokumenter “Mencari Sutedja”. Tapi sebelum itu, Ada yang kenal Sutedja? Atau malah belum ada yang kenal?
Tenang saja, banyak juga kok anak-anak muda zaman sekarang yang nggak kenal dengan Sutedja alias Raden Sutedja. Jadi, R Sutedja adalah seorang komposer dari Banyumas.
Sebenarnya, para traveler atau para perantau, khususnya yang menggunakan kereta api di Stasiun Purwokerto, sangat akrab dengan karya R Sutedja. Yup, lagu “Di Tepinya Sungai Serayu” adalah karya R Sutedja.
R Sutedja lahir di tahun 1909 di daerah Pereng. Rumahnya masih ada loh. Tetapi sudah kosong. Lokasi rumahnya ada di sebelah timur Rita Supermall. Tetapi R Sutedja diadobsi oleh seorang pengusaha di Klampok, Kabupaten Banjarnegara.
Film “Mencari Sutedja” menceritakan kisah hidup R Sutedja yang banyak dituturkan melalui cerita Sugeng Wijono, keponakan R Sutedja yang juga sejarawan Banyumas. Sugeng Wijono dulu sering mendapat cerita soal R Sutedja dari Sutedja sendiri dan ibunya, yang merupakan adik R Sutedja.
Selain itu, kehidupan R Sutedja juga banyak diceritakan oleh anak sulung dan bontotnya. Bahkan, ada satu plot dimana Putri ke-4 Soetedja, Lily Soemandari menceritakan wasiat R Sutedja sebelum meninggal di usia muda.
Jadi, ceritanya, R Sutedja berwasiat agar anak-anaknya tidak menggeluti dunia musik seperti dirinya. Alasannya? karena dunia musik yang digeluti R Sutedja tidak cukup meyakinkan sebagai penyangga kehidupan keluarga.
Sebuah wasiat yang bisa dibilang tetap cocok jadi bahan obrolan antara orang tua dan anak yang ingin menggeluti dunia kreatif, khususnya musik yah. Dulu sih memang susah banget hidup dari musik, lah kalau sekarang?
Sebelum nonton film dokumenter “Mencari Sutedja” ini, aku sih lebih banyak mengenal R Sutedja dari nama Gedung Kesenian Sutedja yang dipindahkan lokasinya karena lokasi lama menjadi jadi Pasar Manis di Purwokerto.
Selain itu, juga mengenal komposer asal Banyumas ini ya cuma dari lagunya “Di Tepinya Sungai Serayu”. Lagu ini banyak dinyanyikan oleh orkes keroncong dan jadi backsound di Stasiun Purwokerto.
Dari film “Mencari Sutedja” mulai terkuak kalau R Sutedja ternyata tadinya nggak boleh kuliah seni musik oleh orang tua angkatnya. Tadinya diminta untuk kuliah hukum atau kedokteran. Seni musik dianggap nggak prospektif. Gara-gara larangan ini sampai ada adegan minggat R Sutedja ke Pulau Borneo.
Tetapi, kemudian, R Sutedja diizinkan oleh orang tua angkatnya untuk kuliah seni musik. Izin itu didapatkan sambil melihat perkebunan yang luas banget di tepi Sungai Serayu. Pemandangan indah Sungai Serayu ini yang menginspirasi lahirnya “Di Tepinya Sungai Serayu”.
Dari sepanjang jalan cerita film dokumenter “Mencari Sutedja” itu, memang yang menarik itu bagian cerita inspirasi lagu “Di Tepinya Sungai Serayu. Pantesan, lagunya ngena banget.
Kata Pak Sugeng maupun Bu Lily, R Sutedja memang karakter yang menyukai keindahan pemandangan alam dan romantisme. Jadi, nggak heran juga kalau lagu-lagu yang mencapai 180 judul itu banyak bercerita soal dua tema itu.
Bagaimana dengan review filmnya?
Film “Mencari Sutedja” ini memang kerasa banget keterbatasan datanya. Baik pembuat film maupun narasumber dalam film dokumenter ini juga mengakui bahwa data tentang R Sutedja nggak banyak.
Bahkan, RRI yang jadi tempat R Sutedja mengasah bakatnya, nggak punya data mumpuni untuk jadi dasar eksplorasi cerita “Mencari Sutedja”
Sayang banget yah. Padahal salah satu komposer Indonesia yang punya banyak karya musik yang luar biasa. Buat Banyumas, jelas ini tokoh yang fenomenal dan susah ditiru kan.
Menurutku, meskipun datanya terbatas, film “Mencari Sutedja” yang digarap selama 8 tahun ini, layak banget untuk ditonton. Apalagi untuk generasi muda di Banyumas Raya yang suka musik dan dunia kreatif.
Oh iya, untuk nonton film dokumenter “Mencari Sutedja” ini, kamu cukup hubungi langsung CLC Purbalingga yah. Suruh Google Aja, biar mudah menemukan kontak dan alamatnya. Hehe.
2 thoughts on “Mencari Jejak Komposer Indonesia R Sutedja yang Tersapu Waktu”