Akhirnya sore ini cuma mendung. Setelah beberapa hari ini, hujan rajin mengguyur setiap sore. Suasana terang sore yang sangat berarti sekali, apalagi kan sedang banyak tontonan di Purbalingga.
Bulan Desember adalah bulannya Purbalingga. Peringatan hari jadi kabupaten setiap tahunnya membuat Kota Perwira ini selalu padat acara di bulan Desember. Tahun ini, Kabupaten Purbalingga ultah ke 188 Tahun.
Sedari pagi, aku sudah punya rencana. Yakni nonton pementasan musik “Kembali ke Orbit Asal” di Mlipir Kopi Purbalingga. Tetapi, karena acara mulai pukul 20.00, jadi sepulang kerja mampir dulu ke Purbalingga Fair 2018 di Stadion Goentor Darjono.
Rencana mampir ke expo tahunan memang sudah ada. Ini karena aku pengin nonton semua stand, silaturahmi dengan pengisi stand sekaligus mampir ke stand kopi untuk nyeruput rasa kopi khas Purbalingga. Target ini, semuanya terwujud.
Tak terasa sudah malam. Sehabis makan ramesan murah meriah di Warung Pak Kuwat di Gang Mayong, langsung cuss ke Mlipir Kopi untuk nonton mini konser “Kembali ke Orbit Asal”.
Event kreatif ini yang bikin anak-anak muda dari Purbalingga. Aku nggak kenal orang-orangnya, jujur saja. Kayaknya memang beda generasi. Aku tahu event ini karena Braling.com diajak bantu publikasi event.
Oh iya, “Kembali ke Orbit Asal” adalah event yang digelar untuk memeringati Hari Ibu. Baru kali pertama digelar. Kemasan venue-nya kece banget deh.
Kalau Yudhistira Gilang, yang jadi ketua panitia, bercerita, event kreatif ini jadi upaya mereka untuk menggairahkan dunia kreatif di Purbalingga. Khususnya ya di bidang musik.
Sampai di lokasi, langsung pasang ekspresi ‘wow banget’. Banyak orang yang datang. Anak muda. Sekali lagi, nggak banyak yang bisa dikenal. Ada sih yang tua dan kenal kayak Mas Ashari, owner Kopikalitas sekaligus pegiat Ruang Kopi.
Penampilnya juga nggak ada yang kenal. Mulai dari IONA, Bunda KLC & Andy Slide, Nada Sumbang sampai Teriak Sunyi belum kenal semuanya. Jadi, aku ya malah kepo sama aksi para penampil.
Eh iya, para penampil itu semuanya orang dari Purbalingga loh. Paling nggak, punya ‘hubungan darah’ dengan Purbalingga Kota Perwira ini. Seperti konsepnya, event ini lagi ngajak para talenta ini untuk kembali ke orbitnya di pangkuan Ibu Braling.
Akhirnya, mendengar nuansa musik indie secara langsung di Kota Braling.
Sudah beberapa tahun ini, penasaran dengan dunia musik indie di Purbalingga. Terutama setelah tambah rajin mendengar dan menonton musisi indie dari Youtube dan kiriman file lagu sejumlah teman.
Dan, memang asyik kok mendengar lagu-lagu indie di “Kembali ke Orbit Asal”. Apalagi, pas mereka menyanyikan lagu-lagu buatan mereka sendiri. Wuah, mantul lik. Mantap Betul!
Aku memang bisa nonton pas aksinya Nada Sumbang dan IONA. Dengan gaya bermusik yang berbeda, dua penampil itu keren di panggung yang sederhana tapi keci. Aku menikmati suasananya.
Menurutku, hal-hal begitu yang memang harusnya dilakukan anak-anak muda di Purbalingga. Khususnya, pegiat musik. Maksudnya, lebih berani dalam mencipta dan merilis karyanya.
Nggak harus dalam bentuk album lah. Single dulu oke lah. Jadi, nggak cuma covering lagu ini itu yang lagi hits aja. Sayangkan, kalau punya talenta tapi cuma andalkan covering.
Apalagi kan ya zamannya sudah berubah. Teknologi informasi seperti media sosial dan Youtube sudah bisa jadi medium belajar sekaligus medium merilis media. Plus nih, apresiasi terhadap musik indie sudah semakin kuat.
Intinya, iklimnya sudah oke banget untuk mendukung berkarya.
Selain itu, event kreatif nan apresiatif juga penting untuk digelar kontinyu sekaligus menarik
Ini yang kadang aneh. Konsep keren, acara keren, gebyarnya juga keren, tapi tidak berlanjut dengan baik. Event dibuat seolah hanya reaktif atas apa yang diinginkan saja.
Cita-cita yang indah dan menyenangkan tidak memiliki strategi yang jelas untuk dicapai. Akhirnya, event yang keren malah hanya satu kali dirilis.
Setelah itu, hanya bertemu dengan alasan demi alasan, yang akhirnya malah membuat event tidak lagi digelar. Bubar jalan begitu saja. Sayang kan.
Padahal, kalau mau ngomong membangun dunia kreatif kan butuh konsistensi dalam menghadirkan panggung apresiasi. Bagaimana kreatifitas yang ‘alternatif’ ini tidak akan punya ruang untuk eksis.
Keberlanjutan ruang apresiasi juga dibutuhkan agar musisi-musisi yang ambil jalur berkarya non-populis itu bisa mengasah kreatifitas sekaligus menyamakan frekuensi dengan penikmat musik.
Semoga ya teman-teman yang berjibaku di event “Kembali ke Orbit Asal” bisa terus istiqomah mengguncang Purbalingga.
Tidak berhenti di situ saja, jika ingin dunia kreatif lebih asyik, maka butuh semangat kolaborasi.
Waini yang kadang susah di wujudkan. Tidak hanya di sektor musik ya, tetapi juga di lini kreatif lainnya. Ego yang terlalu kuat antar lini kreatif bahkan kelompok dan selera membuat kolaborasi jadi nggak gampang.
Padahal, menurutku, kalau anak-anak muda di Purbalingga yang jatuh cinta pada dunia kreatif punya semangat kolaborasi, wah Purbalingga nggak bakal kalah kalau ngomong karya. Wong Braling itu hebat-hebat kok.
Perfilman itu sudah masuk peta nasional. Digital marketing sudah masuk media berulang kali. Seni tradisi dan kontemporer sudah nampil di banyak kota. Musik banyak yang punya kanal Youtube.
Kalau semua lini berkolaborasi kan jadinya tambah gayeng itu Kabupaten Purbalingga. Budaya mengapresiasi juga bakal semakin kuat. Mimpi untuk jadi destinasi kreatifitas bukan mimpi lagi itu.
Ngomong kolaborasi memang berat. Butuh waktu. Butuh juga orang-orang yang mau menyambungkan aspirasi dan silaturahmi antarlini kreatif. Tapi, menurutku sih bukan hil yang mustahal.
Konser di Jumat malam itu bisa kok dikemas jadi ruang kolaborasi yang lebih luas. Minimal kolaborasi musik dengan bisnis kuliner cafe yang sedang menarik perhatian masyarakat lah.
Eh, lalu bagaimana dengan peran Pemerintah Kabupaten nih? Kok nggak dibahas?
Hmm, bagaimana ya bahasnya yah. Kalau soal ini, kayaknya saya mau dengar dulu cerita langsung dari Bupati Purbalingga dulu saja. Ya, cerita soal konsep dan strateginya dong.
Soal peran pemerintah, cukup segitu dulu yah. Heuheuheu.
Oke. Kembali ke cerita soal “Kembali ke Orbit Asal”. Menurutku itu tiga hal yang bisa aku dapatkan dari mini konser yang penuh nuansa indie itu.
Memang bukan hal yang baru sih. Tetapi, ya memang dari zaman dulu, hanya begitu masalahnya. Karena dari dulu, Purbalingga nggak punya ruang apresiasi yang mumpuni, nggak ada ruang untuk menjalin silaturahmi, nggak karya yang dikisahkan.
Eh, atau ternyata ada kisah atau gagasan lain dari teman-teman Kalau ada, silahkan share di kolom komentar saja yah.