inspirasi ide puisi
Catatan Kecil

Tiba-tiba Ingin Berbicara soal Pengalaman Menemukan Ide Menulis Puisi dan Hikmahnya

Beberapa hari ini, hujan lebih sering datang. Baik di kala pagi menjelang siang maupun siang menjelang sore, langit mudah sekali berwarna kelabu. Dan, kemudian bercuruan air langit. Sekarang ini, mudah sekali memandangi perjumpaan air dan debu di muka tanah.

Karena masih #dirumahaja untuk work from home, jadi nggak terlalu khawatir kalau hujan datang. Kalau musimnya hujan datang seperti sekarang ini, yang lebih mengkhawatirkan adalah jemuran dan motor yang baru saja di cuci.

Bila hujan rajin datang seperti ini, AkuBangkit hampir selalu ingat dengan quote dari Sujiwo Tejo. Kata-kata ini banyak muncul lah di mesin pencarian dan sudah populer jadi bahan status. Kira-kira begini kalimatnya.

“Tahukah kamu, orang yang paling tak berperasaan? Dia yang jauh dari kekasih di saat hujan, tapi tak menghasilkan puisi” – Sujiwo Tejo

Puisi dan Hujan Memang Akrab

Begitu deh. Keduanya seperti dua sisi mata uang. Seolah-olah, hujan telah menumbuh suburkan bunga-bunga puisi, sementara momen tepat puisi bermekaran adalah ketika hujan menghujam bumi. Dan, semua itu kian menjadi-jadi, ketika cinta menderu rindu atau sakit menghuni hati.

Hal-hal begini yang membuat puisi layaknya cerminan isi hati. Ia menjadi medium ampuh bertutur rasa yang menghuni sela-sela hati. Sebab itulah, puisi mudah dimengerti, mudah dipahami serta mudah memancing empati.

Sekalipun untaian kata-kata ber-rima itu sudah mengarungi banyak masa, hingga berdebu dan menguning, membaca romantika puisi selalu bikin dag dig dug. Dalam setiap puisi melekat setapak nostalgia rasa yang mudah sekali ditelusuri.

Membaca tiap baris katanya layaknya menyalakan tombol “play” rekaman adegan yang telah terekam lama. Bahkan tersimpan rapat di dalam kotak bergembok dengan kunci yang telah terbuang. Semakin kenangan itu dipungkiri, malah semakin menguasai isi hati.

Baca Dulu Dong: Sajak Buku Diary

Puisi Matahari dan Belajar Bertutur Aksara

Perihal puisi juga ada dalam kehidupan AkuBangkit. Ibu dan kakak perempuan adalah orang-orang yang biasa membaca dan mendeklamasikan puisi. Mereka sudah biasa tampil di panggung-panggung perlombaan puisi.

Persinggungan dengan puisi ya masing serupa dengan jamaknya pemuda lainnya di Indonesia. Hanya ada di pelajaran Bahasa Indonesia. Karena AkuBangkit pikir, puisi itu penuh bahasa perumpamaan dan rasa yang menggebu, jadi sudah tentu amat sukar untuk membikin sebuah puisi.

AkuBangkit pernah benar-benar mengalami momen dimana membuat puisi itu begitu susah. Yakni waktu pelajara Bahasa Indonesia di kelas 2 SMA. Waktu itu kalau nggak salah pelajaran setelah istirahat kedua. Semua siswa diminta bikin sebuah puisi dalam 30 menitan. Dan, dikumpulkan.

Pencarian inspirasi dibebaskan, yang penting masih di sekitaran ruang kelas. Sepuluh menit berlalu. Dua puluh menit berlalu. Kertas masih saja kosong. Cuma berisi nama dan absen. Kemudian, dua puluh lima menit berlalu.

Dalam sisa waktu sekitar lima menit itulah muncul sebuah inpirasi. Bikin puisi tentang matahari. Puisinya pendek. Mungkin hanya enam baris. Puisinya, bercerita tentang matahari yang terik di siang hari dan bikin badan berkeringat. Nggak ada indah-indahnya.

Tetapi, momen itu begitu tak terlupakan. Bahkan, sangat menginspirasi. Sebab, selepas itu, banyak coretan-coretan di buku dairy ataupun buku catatan kuliah hingga blog yang berisikan barisan kata dalam bentuk puisi. Ada yang berusaha romantis, ada yang straight to the point.

Sebenarnya sih, AkuBangkit nggak berani menyebutnya puisi, lah wong cuma barisan kata tanpa kata indah. Kata-kata itu hanya rangkaian kosakata yang sedang ada di dalam pikiran yang terselumbung emosi.

Puisi menjadi Medium Belajar Menulis

Bagi AkuBangkit, puisi bukan semata tentang menyalurkan minat bakat dan menghamburkan segala rasa yang terpendam ataupun tak mampu diucapkan. Akan tetapi, puisi juga menjadi medium belajar menulis yang sangat efektif.

Kenapa? Karena puisi tidak menuntut penulisan yang berparagraf panjang maupun banyak halaman. Menulis puisi bisa hanya empat baris kalimat. Kalau dalam ranah puisi kontemporer, acuan rima dan panjang malah nggak begitu penting.

Buat orang yang sedang belajar menulis, puisi memberi ruang yang cukup untuk dalam mengatasi kendala keterbatasan pribadi. Baik karena keterbatasan penggunaan dan pilihan kosakata, keterbatasan eksplor ide menulis hingga keterbatasan dalam berpikir secar runtut.

Ketika awal-awal belajar di pers kampus bersama LPM Solidaritas, AkuBangkit sangat kesulitan membuat tulisan panjang hingga dua halaman A4. Rasanya, baru dua paragraf saja sudah nggak ada bahan tulisan, nggak ada kata yang tepat dan ketika berusaha diperpanjang, alurnya berantakan.

Bagaimana Cara Belajar Menulis dengan Puisi?

Caranya sangat mudah. Cukup tuliskan apa saja yang dipikirkan dan ingin tulis. Tak perlu berpikir tentang pilihan kata indah atau nggak, menarik bak pujangga atau nggak, bahkan nggak perlu dipikirkan tentang tema tulisan puisi itu sendiri.

Selesaikan saja tulisan itu. Beri judul. Dan yakinkan diri bahwa tulisan itu sudah selesai. Semua pesan yang hendak disampaikan sudah ada di tulisan itu.

Urusan editing biarkan nanti saja. Setelah tulisan jadi. Tulisan selesai tuntas. Itupun, jangan langsung diedit atau dibaca ulang. Biarkan dulu. Beri waktu 15-30 menit otak istirahat berpikir dan tulisan menghela napas. Istirahat itu akan membuat pikiran kita lebih obyektif menilai karya.

AkuBangkit meneruskan kebiasaan menulis seperti ini, untuk menambah jam terbang. Tulisannya banyak ada di blog. Pertama-tama memang nggak mengasyikan buah karyanya. Tetapi dengan terus belajar dan menambah referensi dengan membaca dan mengobrol, skill menulis akan berkembang.

Bahkan, lambat laun, kita akan merasa kalau puisi itu nggak cukup untuk mengutarakan pendapat kita. Nah, setelah sudah merasa begitu, langsung saja perbanyak menulis artikel. Semakin sering membuat dan menambah referensi, skill akan berkembang.

Baca Yuk: Sajak Ketika Hujan Datang

Hmm. Ternyata panjang juga. Malah bergeser dari membahas puisi di salah satu hari pada musim penghujan ke cara belajar menulis. Mungkin lagi kangen proses di Kelas Menulis Purbalingga. Btw, semoga nggak menggurui yah. Hihihi.

Kalau boleh jujur ya, AkuBangkit nggak terlalu suka dengan puisi yang bawa-bawa Tuhan. Terutama kalau nadanya penuh dengan kepasrahan dan sekadar menyerahkan ketidakmampuan diri menghadapi realita kepada Tuhan. Apalagi hanya membawa Tuhan di ending puisi.

Menurut AkuBangkit, bawa-bawa Tuhan boleh kok dalam karya kita. Termasuk puisi. Toh kita memang makhluk bertuhan kan. Coba deh cek puisi-puisinya Gus Mus atau KH A Mustofa Bisri. Puisinya religius banget, tapi nggak berlebihan. Coba deh baca atau dengarkan koleksi puisinya. Keren banget, brow.

Eh udahan yah. Mendung mulai menggelayut lagi. Mungkin sebentar lagi hujan. Mungkin nggak. Entahlah. Bukan peramal pula. Lagi pula, mendung tak selalu berarti hujan.

Lain kali, AkuBangkit bakal share beberapa puisi yang sudang memberi inspirasi dalam kehidupan ini. Apabila kawan-kawan juga suka berpuisi atau punya pengalaman dengan puisi? Boleh dong share pengalaman kalian.

Sumber Foto: Pixabay

3 thoughts on “Tiba-tiba Ingin Berbicara soal Pengalaman Menemukan Ide Menulis Puisi dan Hikmahnya”

  1. Setuju banget kalau puisi itu merupakan latihan menulis. Sebodo amat mau puitis atau kagak, yang penting menulis. Dengan menulis puisi lama-lama akan terbiasa dan belajar diksinya juga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *