tokoh puisi inspiratif
Catatan Lepas

Puisi Tak Hanya Diksi Mendayu-dayu. Empat Puisi yang Sangat Menginspirasi dan Punya Daya Magis!

Persepsi ini ketika zaman sekolah. Setidaknya sampai SMA. AkuBangkit pikir membuat puisi itu sulit. Karena harus menemukan kosakata yang mendayu-dayu dan penuh perumpamaan. Tanpa hal semacam itu, puisi tak pernah bisa disebut puisi.

Namun, kemudian pada beberapa semester awal mulai berkenalan dengan banyak buku dan tokoh. Mulai kenalan sama Tirto Adhi Surjo, Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Soe Hok Gie, Widji Thukul, WS Rendra, Marco Kartodikromo hingga Goenawan Muhammad.

Mulai membaca beberapa karya dan biografi mereka secara sekilas. Berkenalan dengan cara berpikir yang nggak meliuk-liuk di langit, melainkan yang lugas dan jelas. Ternyata, puisi nggak cuma bahasa romantik egois semata. Namun cara bertutur sikap yang indah.

Begitu juga dengan karya-karya tulis yang lain, puisi menjadi medium menyampaikan pendapat yang asik, menyegarkan dan bebas, tanpa harus terpaku pada gaya bahasa yang indah serta gaya baca yang khas panggung kompetisi.

Setidaknya Ada Empat Puisi Inspiratif

Hingga sekarang, ada empat puisi yang benar-benar menjadi inspirasi. AkuBangkit suka membacanya dan juga mendengarkannya. Puisi-puisi ini mungkin sudah ada yang tahu atau bahkan belum ada yang kenal dengannya.

Sesuai janji beberapa waktu lalu, kali ini AkuBangkit share Empat Puisi Luar Biasa yang Sangat menginspirasi dan Punya Daya Magis!. Menurut AkuBangkit, puisi-puisi ini  sangat harus dibaca meskipun sekali dalam seumur hidup. Ini puisi versi AkuBangkit yah. Monggoh.

Pertama. Puisi “Peringatan” dari Wiji Thukul

Kali pertama mendengarkan puisi ini ketika sedang ada demonstrasi mahasiswa di Rektorat Unsoed Purwokerto. Kalau nggak tahun 2006 ya tahun 2007. Mahasiswa memadati halaman depat rektorat, hari semakin siang, dan deadlock.

Tetiba seorang mahasiswa yang anggota teater kampus membacakan puisi “Perlawanan”. Seketika semangat kembali menyala. Chaos. Jika dilihat kata perkata, puisi dari Wiji Thukul ini memang punya daya magis nan provokatif untuk membakar semangat melawan ketidakadilan.

Peringatan

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh

Itu artinya sudah gasat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!

Sumber: 5 puisi Wiji Thukul yang Masih Relevan Hingga Sekarang

Baca Yuk: Tiba-tiba Ingin Berbicara soal Pengalaman Menemukan Ide Menulis Puisi dan Hikmahnya

 

Kedua. Puisi “Sajak Sebatang Lisong” dari WS Rendra

Kalau Sajak Sebatang Lisong yang dibuat WS Rendra pada tahun 1977 ini, mendengarkan pertama kali di acara teater kampus. Lupa kapan waktunya. Yang pasti di kampus Fisip Unsoed dong. Mendengar puisi ini, seperti sedang dipancing untuk keluar menghadapi realita. Heuheuhue.

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong

melihat Indonesia Raya,

mendengar 130 juta rakyat,

dan di langit

dua tiga cukong mengangkang,

berak di atas kepala mereka

 

Matahari terbit.

Fajar tiba.

Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak

tanpa pendidikan.

 

Aku bertanya,

tetapi pertanyaan-pertanyaanku

membentur meja kekuasaan yang macet,

dan papantulis-papantulis para pendidik

yang terlepas dari persoalan kehidupan.

 

Delapan juta kanak-kanak

menghadapi satu jalan panjang,

tanpa pilihan,

tanpa pepohonan,

tanpa dangau persinggahan,

tanpa ada bayangan ujungnya.

…………………

 

Menghisap udara

yang disemprot deodorant,

aku melihat sarjana-sarjana menganggur

berpeluh di jalan raya;

aku melihat wanita bunting

antri uang pensiun.

 

Dan di langit;

para tekhnokrat berkata :

 

bahwa bangsa kita adalah malas,

bahwa bangsa mesti dibangun;

mesti di-up-grade

disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

 

Gunung-gunung menjulang.

Langit pesta warna di dalam senjakala

Dan aku melihat

protes-protes yang terpendam,

terhimpit di bawah tilam.

 

Aku bertanya,

tetapi pertanyaanku

membentur jidat penyair-penyair salon,

yang bersajak tentang anggur dan rembulan,

sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya

dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan

termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

 

Bunga-bunga bangsa tahun depan

berkunang-kunang pandang matanya,

di bawah iklan berlampu neon,

Berjuta-juta harapan ibu dan bapak

menjadi gemalau suara yang kacau,

menjadi karang di bawah muka samodra.

………………

 

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.

Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,

tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.

Kita mesti keluar ke jalan raya,

keluar ke desa-desa,

mencatat sendiri semua gejala,

dan menghayati persoalan yang nyata.

 

Inilah sajakku

Pamplet masa darurat.

Apakah artinya kesenian,

bila terpisah dari derita lingkungan.

Apakah artinya berpikir,

bila terpisah dari masalah kehidupan.

Sumber: Sajak Sebatang Lisong Karangan WS.Rendra

 

Ketiga. Puisi “Pesan” dari Soe Hok Gie

Soe Hok Gie dan Tirto Adhi Surjo adalah inspirasi saat awal-awal memutuskan untuk berjibaku di dunia pers kampus sekaligus dunia media. Cara berpikir, cara bekerja dan pilihan kata yang mereka tuliskan menjadi semacam lentera dalam perjalanan di era mahasiswa dulu. Bahkan sampai sekarang.

Puisi “Pesan” Soe Hok Gie ini juga nggak sengaja terbaca. Tetapi begitu menarik layaknya magnet. Aku pernah sekali membacakan puisi “Pesan” waktu acaranya Kelas Menulis Purbalingga, beberapa tahun lalu. Puisi ini begitu menyindir diri ini.

Pesan

Hari ini aku lihat kembali

wajah-wajah halus yang keras

yang berbicara tentang kemerdekaaan

dan demokrasi

dan bercita-cita

menggulingkan tiran

 

Aku mengenali mereka

yang tanpa tentara

mau berperang melawan diktator

dan yang tanpa uang

mau memberantas korupsi

 

Kawan-kawan

kuberikan padamu cintaku

dan maukah kau berjabat tangan

selalu dalam hidup ini?

Sumber: Puisi Pesan Karya Soe Hok Gie

 

Keempat. Puisi “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana” dari Gus Mus

Ada sangat banyak puisi-puisi Gus Mus alias KH A Mustofa Bisri yang yang sangat luar biasa. Sangat Halus namun lugas. Sangat religius tapi tidak berlebihan. Sangat jelas cara Gus Mus menampilkan realitas yang saling bertolak belakang dengan nilai-nilai sosial maupun agama.

Salah satu puisi yang begitu masuk ke dalam hati adalah puisi “Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana”. Puisi yang sangat ngulik kosakatanya ini sangat mencerminkan kondisi kita. Bahkan, emosi kita sangat campur aduk ketika mendengarkan langsung Gus Mus yang membacanya.

Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana

Kau ini bagaimana

Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya

Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kafir

 

Aku harus bagaimana

Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai

Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

 

Kau ini bagaimana

Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku

Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan

 

Aku harus bagaimana

Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku

Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

 

Kau ini bagaimana

Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa

Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

 

Aku harus bagaimana

Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya

Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain

 

Kau ini bagaimana

Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya dengan pengeras suara setiap saat

Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

 

Aku harus bagaimana

Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya

Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

 

Kau ini bagaimana

Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah

Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

 

Aku harus bagaimana

Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi

Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bisshowab

 

Kau ini bagaimana

Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku

Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

 

Aku harus bagaimana

Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu

Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

 

Kau ini bagaimana

Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis

Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

 

Aku harus bagaimana

Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah

Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

 

Kau ini bagaimana

Aku bilang terserah kau, kau tidak mau

Aku bilang terserah kita, kau tak suka

Aku bilang terserah aku, kau memakiku

 

Kau ini bagaimana

Atau aku harus bagaimana

Sumber: Puisi inspiratif Gus Mus: “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana”

 

Baca Juga Dong: Sajak Koruptif

Empat puisi itu sangat inspiratif. Begitu tulus, meskpun tanpa mendayu-dayu. Bahkan, kalaupun dibaca sekarang ini, puisi-puisi itu masih sangat menggambarkan kondisi kekinian di Bangsa Indonesia ini.

Kalau untuk kawan-kawan, puisi apa nih yang sangat menginspirasi kehidupan kalian? Yuk share di kolom komentar, biar semakin banyak orang yang terinspirasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *