Aku dan teman-teman di Citrantara Marcomm melakukan aktivitas yang tidak biasa. Jika lazimnya kami hanya fokus mengejar deadline pekerjaan, di medio pekan kedua Januari 2020 ini, kami nonton film di CGV.
Nyanyian Akar Rumput. Film ini menjadi pilihan untuk pengegaran mata dan pikiran di awal tahun ini. Film “Nyanyian Akar Rumput” ini bukan film cinta-cintaan atau adu jotos ya. Tapi, film dokumenter!
What? Film dokumenter diputar di bioskop selevel CGV yang ada di Rita Supermall Purwokerto? Iya! Betul! Film dokumenter ini memang cukup spesial, jadi bisa diputar di CGV.
Baca Yuk: 5 Lagu Lawas yang Bikin Kamu Bisa Semakin Galau & Baper Ketika Hujan Turun
Yuk kenalan dengan film dokumenter “Nyanyian Akar Rumput” ini.
Jadi, begini. Film “Nyanyian Akar Rumput” ini adalah film dokumenter yang bercerita tentang kehidupan Fajar Merah. Yes! Fajar Merah adalah putra bontot dari Wiji Thukul.
Wiji Thukul itu seorang sastrawan dan aktivis HAM dari Solo. Thukul merupakan salah satu aktivis yang “dihilangkan” pada tahun 1998 oleh Rezim Presiden Soeharto. Ya, di masa reformasi.
Film “Nyanyian Akar Rumput” ini disutradarai Yuda Kurniawan. Proses produksinya membutuhkan waktu empat tahun. Film dokumenter panjang ini baru dirilis di Indonesia 16 Januari 2020 kemarin.
Sebelumnya, film dokumenter ini malang melintang di banyak festival dan kompetisi film. Film “Nyanyian Akar Rumput” meraih penghargaan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2018.
Kemudian juga meraih penghargaan Piala Citra 2018 untuk Kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik dan Piala Maya untuk Kategori Film Dokumenter Panjang Terpilih.
Eh, sebelum ngomong sinopsisnya, ulas sedikit Wiji Thukul ya.
Widji Thukul lahir di Surakarta. Nama aslinya Widji Widodo. Sejak bujang, dia sudah aktif di dunia teater plus gerakan sosial dan budaya. Yang mana, kemudian merembet juga ke isu politik.
Thukul banyak bersuara tentang hak asasi manusia di Indonesia. Lewat karya sastranya, terutama puisi, Wiji Thukul juga aktif menyuarakan perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan rezim Orde Baru.
Puisi-puisi Wiji Thukul memang sangat inspriatif. Tidak banyak, malah tak ada, kalimat indah nan mendayu-dayu di sana, namun begitu mengena dan kontekstual sekali dengan kehidupan Indonesia era Orde Baru. Bahkan, masa kekinian.
Puisi Wiji Thukul seperti punya daya dorong yang sangat luar biasa. Puisi “Peringatan” hingga “Bunga dan Tembok” sudah menjadi langganan tampil di antara derap aksi unjuk rasa rakyat atau mahasiswa.
Aku sendiri mengenal nama dan karya Wiji Thukul ketika masih kuliah. Dari yang tadinya mendengar puisi “Peringatan”, akhirnya menelisik beberapa buku tentangnya.
Thukul dan karya tulisannya merupakan salah satu faktor kenapa aku jadi lebih suka menulis dan menilai bahwa karya sastra tak harus bertutur indah penuh metafora, namun juga bisa lugas dan jelas.
Oke. Lalu, bagaimana dengan sinopsis film “Nyanyian Akar Rumput”?
Film dokumenter ini banyak menguak kehidupan keluarga Wiji Thukul setelah, Thukul tak kunjung kembali ke rumah, beberapa tahun lalu. Ceritanya dipaparkan dengan menjadikan Fajar Merah sebagai figur utamanya.
Karakter seperti Sipon, istri Thukul dan Wani, anak sulung Thukul, disajikan sebagai penguat kisah lika dan liku kehidupan keluarga kecil ini di Solo. Kegetiran dan ketegaran hidup.
Film “Nyanyian Akar Rumput” ini bercerita tentang upaya Fajar dalam menghidupkan kembali semangat Wiji Thukul dengan membuat musikalisasi puisi lewat band “Merah Bercerita”.
Karenanya, tidak heran kalau “Nyanyian Akar Rumput” banyak menyajikan aksi panggung Merah Bercerita dan proses pembuatan lagu-lagu yang terinspirasi dari puisi-puisi Wiji Thukul, tentu.
Ini kesan yang aku dapatkan dari film “Nyanyian Akar Rumput”.
Film ini begitu mengalir, jadi aku dan teman-teman nggak merasa menonton film dokumenter yang membosankan. Apalagi saat terkuak hal-hal yang sangat personal dari anggota keluarga Thukul ini.
Nyanyian Akar Rumput ini menyajikan campur aduk rasa keluarga Thukul. Sisi emosional sekaligus naifnya Sipon, sisi tegar serta harap Wani hingga sisi konsistensi dan bingungnya Fajar.
Sebagai salah satu pengagum karya Thukul sekaligus anak yang sudah ditinggal bapak sejak SD, aku krasa benget krenteg di hati ketika melihat film dokumenter racikan Yuda Kurniawan ini.
Aku memahami kegundahan hati Fajar ketika bingung mendeskripsikan sosok ayahnya, yang terakhir dilihat sewaktu ia umur 2 tahun. Apalagi ketika dirinya disamakan dengan sosok yang tak pernah dilihatnya.
Aku bahkan merasa sesedih-sedihnya ketika Wani baca puisi tentang ayahnya di acara Yap Thiam Hien Awards 2002, awal Desember 2002. Waktu itu, Wani masih remaja.
Wiji Thukul mendapat penghargaan Yap Thiam Hien Awards itu karena dinilai berkontribusi besar dalam upaya mengungkapkan berbagai ketidakadilan dan pelanggaran HAM di Indonesia.
Sungguh menjadi pengalaman batin dan wawasan yang sangat luar biasa ketika nonton “Nyanyian Akar Rumput”. Sungguh pengalaman nonton film yang luar biasa.
Boleh Dong Baca: Pengalaman Asiknya Mampir Kerja di Baraja Cafe yang Hits di Kota Cirebon
Kalaupun ada yang kurang, paling hanya poin plot cerita yang ini saja.
Menurutku, plot cerita di tengah cerita film dokumenter “Nyanyian Akar Rumput” ditampilkan secara berlebihan. Yaitu plot pas bagian menampilkan masa demonstrasi Mei 1998 dan Pilpres 2014.
Plot ini diceritakan lumayan lama. Aku paham sih ini untuk memperkuat konteks masalah dan menyoal kehadiran negara. Tapi malah jadi kerasa terlalu memaksakan karena terlalu panjang.
Selain menjadikan film ini mudah diasosiasikan pro Joko Widodo, juga karena sejatinya di bagian plot ini, tidak banyak data baru muncul. Narasinya nggak berbeda dari apa yang terpapar di mesin pencarian.
Justru akan sangat menarik, kalau “Nyanyian Akar Rumput” lebih fokus mengulik sisi emosional dan problema psikologis keluarga Thukul. Karena, informasi itu yang sejatinya dibutuhkan oleh kita.
Biar orang-orang tahu bahwa penindasan HAM tidak pernah berakhir baik. Ada akibat yang “menyeramkan” bagi keluarga korban. Apalagi kalau Negara tak pernah mau hadir di sana. Pilu.
Baca Juga Dong: [Ulasan] 5 Alasan Utama Kenapa Grand Braling Hotels by Azana Begitu Spesial bagi Purbalingga
Nah. Itu dia ulasan tentang film dokumenter “Nyanyian Akar Rumput” yang dirilis di bioskop pada Januari 2020. Kawan-kawan harus nonton film ini. Kalau perlu nonton bareng dan ajak Yuda Kurniawan diskusi.
Terutama buat anak-anak muda Indonesia. Biar kita semua ini memahami peta dan alur sejarah Bangsa Indonesia. Bahwa, Indonesia ini tidak sedang baik-baik saja.
Terimakasih mas Yuda Kurniawan dan keluarga Wiji Thukul atas sajian film “Nyanyian Akar Rumput”. Aku nggak menyesal meninggalkan deadline pekerjaan yang kian mendekat, demi kisah yang asik disimak ini.
Awal tahun wis dolan-dolan ming CGV bae rikane. Di CGV malah sering lho memutar film dokumentar atau film yang Indonesia banget.
Wow, ternyata sudah banyak juga penghargaan yang didapat dari Film Nyanyian Akar Rumput ini sebelum hadir di bioskop. Pembuatannya cukup lama juga ya, sampai 4 tahun.
Dan mungkin iya, perlu diangkat lagi dari sisi emosionalnya para keluarga korban dulu. Mengangkat kisahnya bagaimana menjalani hidup sehari-hari dengan bayangan yang menakutkan.
Banyak yang menarik dari film ini. Terutama bagi penyuka karya sastra Indonesia.