Alhamdulillah! Akhirnya selesai sudah membaca buku “Wasiat Ki Arsantaka”. Biar makin seru, AkuBangkit share ulasan buku fiksi terbaru “Wasiat Ki Arsantaka” dari Budayawan Purbalingga, Agus Sukoco ini.
Bener banget. AkuBangkit memang bukan penulis ulasan buku fiksi yang berpengalaman. Tapi, nggak nggak apa dong sesekali bikin resensi buku. Hehe.
Aih… jadi inget waktu pertama kali garap resensi buku deh. Waktu itu, ada tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Cupu banget!
Zaman itu, nggak suka baca sih. Jadi, asal jadi aja bikin resensi bukunya. Masih ingat banget, buku yang diresensi adalah buku tentang tanaman obat keluarga. Hahaha.
Dari Pameran: Pameran Tunggal Bowo Leksono “Gugat”; Pameran Lukisan yang Berbicara Lantang!
Oke deh. Sudah dulu nostalgia resensi buku zaman dulu. Sekarang waktunya untuk ulasan buku fiksi terbaru dari Agus Sukoco.
Eh, tapi, sebelum AkuBangkit share ulasa buku fiksi di blog ini. Jangan lupa untuk beri dukungan via Nih Buat Jajan yah. Klik aja link itu.
Deskripsi Buku Fiksi “Wasiat Ki Arsantaka”.
Agar semakin kenal dengan buku fiksi dengan sampul merah ini, AkuBangkit kasih gambaran tentang buku racikan Agus Sukoco ini.
Buku fiksi “Wasiat Ki Arsantaka” ini memiliki 438 halaman. Yang mana, tanpa ada satupun ilustrasi di dalamnya.
Terbayangkan betapa padat berisinya cerita novel yang menjadikan pendiri Kabupaten Purbalingga sebagai jantung ceritanya. Hehehe.
- Judul Buku : Wasiat Ki Arsantaka
- Penulis : Agus Sukoco
- Penerbit : SIP Publishing
- Cetakan : Pertama
- Tahun Terbit : 2022
- Harga : Rp 150 ribu
Yang Menarik dari Buku Ini Adalah….
Baiklah. Sekarang waktunya AkuBangkit untuk memperdalam ulasan buku fiksi terbaru “Wasiat Ki Arsantaka” yang dibuat oleh Agus Sukoco.
Mari kita mulai dari apa yang menarik dari buku fiksi yang menyantumkan kata pengantar dari Bupati Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi ini.
1. Karakter Ki Arsantaka yang Misterius.
Novel ini ibarat oase di padang keringnya literasi sejarah di Bumi Perwira. Salah satunya, ya acuan cerita tentang Arsantaka.
Sekalipun disebut sebagai pendiri dan “mata air” lahirnya pemimpin Purbalingga dari masa ke masa, masih sangat minim referensi utuh tentang Arsantaka.
Nama Arsantaka lebih dikenal publik sebagai nama pemakaman. Yang ramai oleh seremoni di hari-hari tertentu. Harus diakui.
Dalam ratusan halaman novel, Agus Sukoco menggambarkan Arsantaka sebagai sosok yang alim, bijak, visioner, sekti lan linuwih. Pokoknya, perfect.
Sekalipun cahaya ini hanya semu, lantaran cerita fiksi, novel ini bisa menjadi salah satu cahaya temaram menelisik sosok Arsantaka secara utuh di jalan sejarah nan sepi.
2. Fiksi Berbasis Sejarah Purbalingga.
Cerita buku fiksi ini mengalir dari Dukuh Pagendolan warisan Ki Wanakusuma atau Kiai Rindik hingga menuju wilayah Purbalingga yang asri dipeluk Kali Klawing.
Pada alur itu, kita akan dengan mudah menjahit kronologi sejarah Purbalingga, dari nama tempat dan tokoh dalam kisah “Wasiat Ki Arsantaka”.
Apalagi ada bumbu kisah tentang Kadipaten Banyumas, Kadipaten Wirasaba, Kadipaten Onje, Kadipaten Mesir hingga Tanah Perdikan Cahyana.
Hadirnya tokoh dan tempat yang familiar dalam buku ini, tidak hanya akan membuat kita enggan menghentikan membaca. Apalagi ketika membaca buku ini di malam sunyi dan ditemani secangkir kopi. Wuuihh….
Cerita ini telah mengusik rasa takjub sekaligus penasaran AkuBangkit tentang bagaimana peradaban membolak-balikan eksistensi wilayah Kabupaten Purbalingga.
3. Tata Bahasa yang Ngulik Rasa.
Buku memang anak dari penulisnya. Maka, tidak heran ketika kita akan dengan mudah menemukan tata bahasa yang Agus Sukoco banget.
Tata bahasa yang penuh metafora dan kadang kosakata unik, menghampar luas dari dari awal hingga akhir cerita fiksi Purbalingga ini.
Gaya bahasa di buku ini membuat kita menjadi lebih imajinatif. Otak dirangsang sedemikian rupa untuk merekonstruksi adegan dari untaian kata yang mengulik rasa.
Dan, ketika visualisasi rasa itu terbentuk dan terkoneksi, kita seperti tenggelam dalam adegan. Asik sekali.
Salah satu cerita yang AkuBangkit suka adalah tentang deskripsi Kademangan Pegendolan dan Perang di Desa Jenar. Coba deh baca bagian ini dengan seksama.
4. Nilai yang Bertebaran di Setiap Kata.
Sebagai budayawan yang menjadi pamomong bagi banyak elemen masyarakat, Agus Sukoco punya banyak stok nilai yang bisa dibagikan sebagai pengadem-adem rasa.
Nilai-nilai itu bertebaran di setiap plot cerita. Bahkan, pesan moral itu tidak hadir sembunyi-sembunyi, akan tetapi muncul dengan terang benderang.
Nilai tentang kepemimpinan, kehormatan keluarga, nasionalisme, kesetiakawanan, religiusitas terpancar dengan jelas dari buku novel “Wasiat Ki Arsantaka”.
Kalaupun Ada yang Kurang dari Novel Ini Yakni….
Seperti pepatah lama, tak ada gading yang tak retak. Begitu juga dengan buku fiksi ini. AkuBangkit munculkan beberapa di ulasan buku fiksi terbaru dari Agus Sukoco ini.
1. Momen Sejarah dan Interpretasi Fiksi.
Sebagai buku yang mengambil cerita sejarah sebagai latar cerita dan penokohan, buku ini belum memberi “penanda” mana yang benar-benar fiksi dan mana yang non-fiksi.
Bagi orang yang sudah gandrung dengan budaya dan sejarah Purbalingga, tentu hal ini tidak sukar untuk membedakan. Nah, kalau bagi orang awam?
Ketidakjelasan penanda ini, bisa membuat pembaca merasa kisah tentang Purbalingga dari ratusan tahun silam, hanyalah mitos.
Seperti halnya kisah Kadipaten Onje hingga Kadipaten Wirasaba yang seperti utopia karena kehilangan penanda bagi generasi kini.
2. Mendadak Buru-buru di Akhir Cerita.
Ulasan buku fiksi terbaru “Wasiat Ki Arsantaka” selanjutnya adalah tentang ritme yang mendadak berubah setelah perang di Desa Jenar.
Jika sebelum cerita perang di Desa Jenar, alur cerita mengalun pelan, cermat dan penuh rasa. Maka selepas perang justru terasa terburu-buru dan hambar.
Perang yang menghancur-leburkan pasukan Adipati Yudhanegara III dari Kadipaten Banyumas oleh Pasukan Pangeran Mangkubumi itu seperti puncak klimak rasa cerita.
Seolah penulis ini kelelahan. Sehingga, ingin buru-buru menyelesaikan buku novel dengan lebih dari empat ratus halaman ini.
Sayang sekali, Agus Sukoco melepaskan kesempatan untuk membangun adegan perang di Desa Jenar yang epik dan heroik. Perang tak seimbang ini malah berakhir cepat dan minim kejutan.
Padahal, sebelum pamor keris Kiai Nalapraja dan Keris Kiai Ageng Kopek beradu tanding, konstruksi ceritanya begitu detail dan membuat jantung AkuBangkit berdegub kencang.
4. Typo yang semakin Banyak.
Ini hal sederhana. Akan tetapi sangat penting. Masih mudah sekali ditemukan typo alias salah ketik dalam untaian kalimat.
Typo semakin menjadi-jadi ketika setengah halaman kebelakang. Ya sekali lagi, sepertinya setelah Perang Jenar, penulis udah nggak baterai full.

Itulah Ulasan Buku Fiksi “Wasiat Ki Arsantaka”.
Novel sejarah bukan sekedar karya estetik yang semata-mata berbasis fiksi, namun juga mengandung kebenaran faktual dalam tema hingga ceritanya.
Begitu kata pegiat budaya Banyumas, Jarot C Setyoko di sampul buku “Wasiat Ki Arsantaka”. Kang Jarot sejatinya berasal dari Purbalingga dan suka dengan kisah sejarah dan pewayangan.
Bisa jadi Agus Sukoco memang agak kewanen ketika merilis buku novel “Wasiat Ki Arsantaka”. Tapi tetap saja, novel ini bisa jadi pengingat jati diri wong Purbalingga.
Kamu Berani Nggak: Jangan Dengerin Lagu Galau Ini Ketika Hujan Turun. Kecuali, Kamu Ingin Hati Kian Terkoyak…
Dan terkait tarikan antara cerita fiksi dan non-fiksi yang ada di buku ini, harus dilihat sebagai pemantik. Salah satunya, oleh guru-guru sejarah di sekolah.
Lah wong ternyata, eksistensi Wirsaba, Onje, Mesir, Perdikan hingga Purbalingga juga memiliki hubungan erat dengan Pajang hingga Mataram, kok. Kan, aslinya keren banget!
Baiklah. itu saja ulasan buku fiksi terbaru tentang sejarah Purbalingga. Semoga bermanfaat yah. Eh, asyiknya kita resensi buku apa lagi ya?